Sabtu, 29 Desember 2012

kuda-kuda rotan

Alat dan Bahan         :
·         Paku
·         Palu
·         Kuas
·         Rotan Manau
·         Rotan Danan
·         Rotan Pitrik
·         Cat Minyak
Proses Pembuatan     :
·         Proses pembuatan kuda-kuda dari rotan ini dilakukan dengan membuat kerangka kuda-kuda terlebih dahulu
·         Rendam rotan yang akan dibentuk selama 1 hari agar rotan menjadi lunak dan mudah untuk dibentuk
·         Rotan jenis Manau dan Danan dibakar perlahan agar lunak dan mudah dibentuk, pembakaran pada suhu 50 derajat Celcius.
·         Rotan manau di bakar untuk proses pembengkokan rotan untuk di bentuk menjadi kerangka kuda-kuda
·         Rotan Danan direndam untuk membentuk pijakan kaki serta pegangan tangan
·         Rotan jenis Fitrik di rendam untuk dengan air di bentuk jalinan (anyaman)
·         Jalinan tersebut berfungsi untuk menyatukan antara fitrik satu dengan fitrik yang lain sehingga berbentuklah anyaman tempat duduk kuda-kuda dan sandaran kuda-kuda
·         Setelah itu kaki kuda-kuda di paku dengan menggunakan palu dan diikatkan dengan rotan
·         Setelah itu, proses terakhir adalah pemberian warna (cat)
·         Oleskan cat minyak warna sesuai selera ( Kuning, Merah, Hijau ) pada tempat duduk, kepala kuda-kuda dan sandaran kuda-kuda agar warna terlihat cerah dan meriah
·         Kuda-kuda siap untuk dipasarkan

BERMAIN dan permainan



1.1  Latar Belakang
Bermain dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan demi kesenangan dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain juga dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan dari orang lain serta secara spontan. Bermain bagi anak berkaitan dengan peristiwa, situasi, interaksi, dan aksi. Bermain dilakukan karena ingin. Bermain berkaitan dengan tiga hal yakni keikutsertaan dalam kegiatan, aspek afektif, dan orientasi tujuan.
Kita mengenal berbagai ungkapan yang menandaskan bahwa bermain sama dengan bekerja bagi anak seperti “Play is the work of the child, (instructor, 1989)”. Bagi anak-anak kegiatan bermain dilakukan tanpa beban, sehingga mereka bebas kapan mau mulai dan kapan mau berhenti dan tanpa paksaan.
Secara konsisten anak-anak mengkategorikan kegiatan menulis dan membaca buku sebagai bekerja. Kegiatan ini dipandang sebagai usaha yang membutuhkan pemikiran dan dapat dilakukan seorang diri.   
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa itu bermain dan permainan ?
2.      Mengapa anak-anak sangat menyukai kegiatan bermain ?
3.      Apa alat permainan yang disukai anak usia dini ?
4.      Aspek-aspek apa saja yang dikembangkan dalam kegiatan bermain itu ?
1.3 Tujuan Makalah
1.      Agar kita mengetahui apa itu bermain dan permainan
2.      Agar kita mengetahui alas an anak usia dini ini suka bermain
3.      Untuk mendapatkan fakta tentang alat-alat yang disukai anak usia dini
4.      Agar kita memahami dan mengerti aspek-aspek perkembangan dalam kegiatan bermain





4

BAB II                                                                                                                                     PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Bermain dan Permainan
Bermain menurut para ahli memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting. Bagi mereka, bermain bukan hanya menjadi kesenangan tetapi juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Menurut Hurlock (dalam Rita Kurnia: 2011, 2) bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar. Conny R Semiawan (dala Rita Kurnia: 2011, 1) mengatakan ada satu tahapan perkembangan yang berfungsi kurang baik yang akan terlihat kelak jika si anak sudah menjadi dewasa.
Permainan merupakan suatu alat bermain yang digunakan anak usia dini, bisa berbentuk balok, puzzle atau benda-benda lain yang dianggap bisa dimainkan. Banyak cara untuk bermain dan banyak aneka ragamnya permainan yang dapat digunakan dan dimainkan Anak Usia Dini seperti Bermain Pura-Pura, Bermain Bebas dan Spontan, Bermain dramatic, serta Bermain Sendiri.
2.2 Alat Permainan yang dimainkan anak Usia dini
Anak usia 3 tahun berdasarkan hasil survey dan observasi saya di perumahan pratama permai   sangat senang menyusun puzzle dengan membuat rumah-rumahan, balok, persegi panjang dan kadang ia menyusun puzzle dengan membuat kotak-kotak. Anak ini sangat menyukai permainan ini meskipun sekali-kali diiringi dengan bermain balon bersama kakak nya dan terkadang ia memainkan benda-benda kecil seperti mainan congklak kakaknya jika ia sedang melihat kakaknya memainkan benda yang menurutnya menarik. Permainan menyusun puzzle ini sangat ia gemari dan terkadang sebelum makan dan sedang makan ia terus menyusun puzzle sesuai gerak hatinya. Ia menyusunnya dengan disuapkan oleh ibunya sehingga terkadang tidak terasa bahwa saat ia menyusun puzzle itu nasi yang dimakannya sudah habis.
Anak usia 4 tahun berdasarkan hasil survey dan observasi saya di perumahan pratama permai sangat senang bermain Sepeda roda tiga. Setiap pagi, siang, sore sampai malampun anak ini selalu memainkan sepeda roda tiganya itu sampai ia lupa dengan waktu, tidak tahu tengah hari pun ia tetap mengayuh sepeda roda tiganya itu. Terkadang sampai terjatuhpun  ia tidak menyerah dan tidak ada jera-jeranya memainkan sepeda roda tiganya itu. Tidak jarang mamanya selalu menyuruhnya masuk dan waktunya istirahat karena ia lupa dengan waktu, lupa makan, lupa tidur siang, sehingga inilah saatnya seorang ibu menjadi peranan yang penting dalam mengawasi anaknya dan melihat pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun motoriknya.

5
Anak usia 5 tahun berdasarkan hasil survey dan observasi saya di perumahan pratama permai sangat suka menggambar dan mewarnai. Hal yang dilakukannya dirumah setiap ada waktu kosong, sepulang sekolah dan tiap waktu ia selalu menggambar. Sehingga saat disuruh menggambar dan mewarnai di sekolahnya ia selalu mendapat nilai tinggi karena ia selalu mengasah kemampuannya berkreasi dengan bakat dan minatnya yang sangat bagus itu. Menurut Rita Kurnia (dalam Bermain dan Permainan Anak Usia Dini: 2011, 12) Menggambar dapat dikelompokkan sebagai bermain membangun dan menyusun karena dalam kegiatan ini menggunakan pensil berwarna dan kertas gambar misalnya untuk membangun rumah, kereta api, jembatan, tumbuh-tumbuhan atau hewan.
Anak usia 6 tahun berdasarkan hasil survey dan observasi saya di perumahan pratama permai sangat suka bermain karet tali. Ia merangkai sendiri karet tali yang dimainkannya dengan mengasah kemampuan motoriknya dalam logika matematika, kesenangannya ini selalu dilakukannya setelah pulang sekolah, dan sore hari. Samapi terkadang ia terpeleset pun ia tidak henti-hentinya memainkan karet tali itu. Jika hari minggu ia memainkannya tiap pagi bersama teman-temannya, tidak jarang yang ikut bermain bersamanya anak usia 7, 8 dan 9 tahun. Terkadang anak yang usia 7 tahun membawa kakaknya yang berusia 11 tahun bermain disana, dan mereka bermain bersama-sama dihalaman rumahnya itu.
2.3 Aspek yang Dikembangkan dalam Permainan itu
     Dalam bermain alat permainan yang dimainkan Anak usia 3 tahun memiliki aspek perkembangan sebagai berikut :

a.      Aspek Kognitif
Bermain menyusun Puzzle yang dilakukan Anak usia 3 tahun merupakan permainan yang dapat membangkitkan gerakan otak nya dalam menyusun berbagai macam rupa dan bentuk puzzle seperti membuatnya dalam bentuk balok, persegi panjang, persegi empat rumah-rumahan serta dapat mengenalkan konsep logika matematika dalam bentuk-bentuk yang dibentuk anak itu sendiri.
b.      Aspek Fisik/Motorik
Alat permainan yang digunakan anak usia dini yakni menyusun puzzle. Dalam menyusun puzzle ini juga dapat mengembangkan aspek fisik/motorik anak dalam membentuk berbagai macam kreasinya untuk membuat puzzle itu kelihatan menarik dan mempunyai bentuk. Ia melatih gerakan tangannya sebagai gerakan motorik halus dalam merangkai bentuk-bentuk dan pola-pola penyusunan puzzle tersebut. Dari bentuk dan pola-pola yang ia kreasikan sendiri ia dapat mempunyai keterampilan baru dalam menyusun puzzle tersebut. Dengan ini gerakan motorik halusnya lebih terasah. Permainan ini dapat menjadi permainan yang memberi pelajaran untuk anak usia dini dalam mengetahui konsep logika matematika dengan bentuk-bentuk suatu ruang dalam matematiuka seperti bentuk balok, persegi panjang dan sebagainya.
6
c.       Aspek Emosi
Aspek emosi dalam permainan menyusun puzzle ini mungkin hanya terfokus pada kemarahan anak dan kekesalannya apabila di ganggu oleh orang lain dalam bermain seperti melempar susunan puzzle itu apabila di ganggu dan menangis dengan kencangnya. Ini yang bisa di ekspresikan anak usia 3 tahun dalam kemarahannya.
     Dalam bermain sepeda roda tiga untuk Anak usia 4 tahun dapat mengembangkan aspek-aspek sebagai berikut:

a.       Aspek  Fisik/Motorik
       Aspek fisik/motorik yang dapat di lihat dari permainan sepeda roda tiga ini adalah saat anak ini menggerakkan kakinya dan memegang stang sepeda tersebut. Pemegangan stang sepeda roda tiga itu termasuk dalam gerakan motorik halus sedangkan ayunan kaki pada pendayung sepeda roda tiga termasuk gerakan motorik kasar karena pada gerakan mendayung anak ini melatih kemampuan kakinya yang lebih kuat dan memakai tenaga.
b.             Aspek Emosi
       Aspek emosi dalam permainan ini dapat dilihat saat ia mendayung sepeda dan tiba-tiba disenggol dengan sepeda  temannya yang lain. Ia akan memperlihatkan rasa kesalnya dan kemarahannya. Disinilah paling tampak aspek emosi yang dikembangkan dalam permainan sepeda roda tiga yang dimainkan anak tersebut. Apalagi disaat anak itu sedang asyik memainkan sepedanya, ia di cegat oleh temannya yang ingin meminjam dan mencoba sepeda kepunyaannya. Disaat itulah ia tampak sekali ketidaksukaannya apabila ia di ganggu oleh temannya. Ia juga dapat memberi respon dengan menangis agar orangtuanya melihat dan mencoba menahan temannya yang ingin memakai sepedanya tersebut.
c.              Aspek Sosial
          Aspek sosial ini dapat dilihat ketika anak usia 4 tahun ini bermain sepeda bersama teman-temannya yang mempunyai sepeda juga.. Melalui aspek ini anak dapat menunjukkan sikap bertoleransi terhadap kelompok untuk saling bekerjasamaserta mulai menghargai oranglain. Tidak jarang ia memainkan sepeda roda tiganya itu dengan teman-teman abangnya yang senang bermain sepeda. Terkadangpun ia ikut bersama abang dan teman-teman abangnya yang kelas 3 SD bermain sepeda bersama-sama. Jiwa sosial anak ini sangat tinggi dengan dilihat dari teman bergaulnya yang rata-rata anak kelas 3 SD yang membuat aspek-aspek perkembangannya pun cepat berkembang karena mempunyai teman yang telah cukup besar daripadanya. Tetapi jika terus begitu tidak baik juga oleh perkembangannya karena ia tidak berkembang berdasarkan urutan karena terlalu sering bergaul dengan teman-teman yang lebih tua daripadanya. Sehingga aspek perkembangannya tidak berurutan dan tidak seimbang.

7
d.             Aspek Berbahasa
          Dalam aspek perkembangan bahasa pada anak usia 4 tahun ini dapat kita amati dari cara dia berkomunikasi dengan temannya. Bagaimana cara dia berbicara dan menyampaikan pendapat seperti “ kita main putar-putar aja lah” atau “ kamu mau main dimana ?” dengan begitu kitr dapat melihat betapa lancar atau tidaknya anak itu dalam berkomunikasi dengan teman sebaya atau kakaknya. Kalau dalam hasil observasi saya anak ini dalam berkomunikasi sudah cukup bisa karena jika teman-teman lainnya masih terbatah-batah dalam berbicara tetapi anak ini sudah dengan bijaknya dapat berkomunikasi dengan baik bersama temannya.
     Dalam menggambar dan mewarnai yang dilakukan anak usia 5 tahun menurut hasil pengamatan dan observasi saya, anak ini dapat mengembangkan aspek-aspek perkembangan sebagai berikut :
a.               Aspek Kognitif
       Aspek ini dapat dilihat dalam berpikirnya otak anak dalam menggambar suatu tokoh kartun atau sebagainya dan juga dalam mewarnai telepon, orang-orangan dan seperti rerumputan. Ia sudah telaten dan tahu bahwa  telepon berwarna hitam, orang-orangan memakai baju yang di warna sesuai seleranya dan membuat hasil yang wah bagi orang yang melihatnya. Dengan demikian kita dapat  mengetahui apa minat dan bakat anak itu melalui proses yang telah dan sering ia kerjakan sehari-hari. Disini juga kita bisa melihat bahwa anak dapat memahami konsep logika matematika dalam menggambar dengan membuat garis, mengamati letak dan juga seperti membuat lingkaran dalam gambarnya serta membuat ukuran dalam gambar dan warna nya agar tidak lewat garis dan sebagainya
b.              Aspek Fisik/Motorik
       Aspek ini lebih ditujukan pada pergerakan motorik halusnya. Dapat dilihat dengan bagaimana cara anak itu memegang pensil, pewarna dan mewarnainya. Aspek ini lebih ditekankan pada motorik halusnya dan  pergerakan jari-jarinya dalam menggambar dan mewarnai. Pada aspek ini anak terampil menggunakan tanganny, gerakan-gerakan tangan anak ini lebih diperhatikan, terkendali dan terorganisir dalam menggerakkan sesuatu. Tetapi walaupun demikian anak usia ini tidak terlalu banyak  melakukan gerakan-gerakan yang begitu rumit karena mereka masih menggunakan gerakan yang mereka ketahui.
c.              Aspek Emosi
       Aspek ini dapat terlihat pada saat gambar atau warna yang mereka pergunakan tidak sesuai atau malah tidak rapi dan untuk menarik perhatian ibu atau ayahnya ia terkadang melakukannya dengan membuang buku gambarnya agar ia ditemani dan disamping kedua orangtuanya. Terkadang kita tidak mengetahui apa yang diinginkan anak usia dini ini karena kita terlalu sibuk dan kurang memerhatikannya sehingga mereka melakukan cara itu untuk mendapatkan perhatian dan kasih saying dari ayah dan ibunya. Dan terkadang anak bisa mengekspresikan isi hatinya itu lewat menggambar. Saat ia senang, sedih, dan cemburu tehadap sesuatu hal.
8
d.             Aspek Seni
          Kegiatan menggambar dan mewarnai dikelompokkan dalam bermain membangun atau menyusun. Dalam aspek seni ini anak dalam kegiatan menggambar menggunakan pensil warna dan kertas gambar misalnya untuk membangun rumah, tumbuhan. Dengan cara menarik garis lurus atau lengkung anak mengisi kertas gambar tersebut. Penggunaan pewarna untuk mengekspresikan diri menjadi sumber kegembiraan bagi anak. Ekspresi inilah yang membuat anak senang dengan hasil karyanya tersebut. Karena ia dengan senang hati dan bebas melakukan apa yang ingin ia lakukan dengan menggambar.
    Dalam kegiatan bermain Karet Tali aspek perkembangan yang dicapai anak yakni  :

a.              Aspek Bahasa
Dalam permainan karet tali ini aspek bahasa sangat berpengaruh dalam memahami aturan dalam suatu permainan seperti jika kaki anak tersebut mengenai karet tali yang ia mainkan maka anak itu akan berkata dengan berdialog seperti : “ Kamu kena talinya, kamu jadi, sekarang aku yang main!” dan ia dapat berkomunikasi dengan baik dan di dengar dengan baik pula. Bahasa juga sangat diperlukan karena dengan ini anak akan dapat bermain, bersosialisasi dengan baik dan melakukan apa yang ia mau dengan baik pula.
b.             Aspek Fisik/Motorik
Dalam permainan ini yang dikembangkan adalah motorik halus dan kasarnya. Kalau motorik halus saat ia memegang tali dan mengayun-ayunkan tali itu serta bereksplorasi dengan kegiatan yang ia mainkan sedangkan motorik kasarnya saat ia melakukan kegiatan tersebut seperti melompat-lompat diatas karet tali, melangkahkan kaki dan melakukan gerakan yang terorganisir untuk melatih kelenturan, keseimbangan dan kelincahan tubuhnya.
c.              Aspek Kognitif
Aspek ini berkembang dalam pemikiran dan otak anak saat anak ini bermain seperti saat dia menghitung hentakan kakinya. Pada saat itu terdapat konsep logika matematika dalam permainan tersebut karena dapat memperkenalkan angka-angka pada anak usia dini. Aspek ini sangat baik untuk anak usia dini karena ia dapat mengetahui tentang angka-angka saat ia bermain dan ia mengetahuinya dengan caranya sendiri. Ia juga dapat memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan menunjuk inisiatif dalam memilih tema permainan.
d.             Aspek Seni
Dalam permainan karet tali ini aspek seni sangat menonjol tampaknya, karena pada permainan ini anak melakukannya dengan cara bermain, ia bernyanyi sambil melompat-lompat dan menyanyi sesuai dengan lompatan yang dilakukannya. Aspek ini dilihat dari cara anak itu bernyanyi karena pada saat bernyanyi ia mendapatkan pengetahuan tentang lagu-lagu dan mempunyai permainan baru dengan menggunakan karet tali tersebut.
9

e.              Aspek Sosial
Aspek ini berperan penting dalam pergaulan anak-anak. Karena aspek sosial ini dapat membuat anak usia dini akrab satu dengan yang lain. Keakraban itupun bisa dilihat dari anak itu bermain bersama teman-temannya karena aspek sosial ini berpengaruh pada sosialisasi anak ke depannya. Jika dari kecil anak itu sudah tidak bisa mengakrabkan diri dengan teman-temannya sampai dewasa pun ia akan menjadi orang yang tidak mengetahui apa-apa. Dalam permainan karet tali ini dapat dilihat bahwa sosialisasi itu sangat dibutuhkan karena dalam permainan ini yang melompat-lompat dengan karet tali tersebut bisa 2 samapi 3 orang. Jadi karet tali ini juga bisa memberikan pembelajaran untuk saling mendukung dan bekerjasama.
2.4 Perbandingan permainan yang dimainkan Anak Usia 3, 4, 5 dan 6 tahun
    Pada anak usia 3 tahun permainan yang dimainkan anak ini lebih kepada kesenangan terhadap dirinya sendiri. Karena pada saat ia bermain, ia ingin permainannya tidak diganggu oleh siapapun, dan ia ingin bereksplorasi pada permainan yang ia dapatkan. Anak usia 3 tahun ini masih rentan terhadap kepunyaannya. Ia ingin apa yang dimilikinya itu hanya untuk dirinya sendiri. Ia juga sudah dapat mengenal konsep logika matematika dengan mengenal ukuran dari puzzle yang ia mainkan, menempatkan pada ukuran yang sama serta ia juga dapat meletakkan benda didalam puzzle yang berbentuk balok.

    Pada anak usia 4 tahun permainan yang ia mainkan dapat termasuk kepada sosialisasi kepada teman-temannya. Karena ia bermain sepeda roda tiga bersama-sama dengan teman-temannya. Ia lebih ditekankan pada permainan berkelompok karena itu anak usia  4 tahun sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan dan teman-temannya. Ia juga sudah dapat menggerakkan tangan dan kakinya yang termasuk dalam motorik kasar dengan mengayunkan kakinya pada kaki sepeda dan motorik halusnya dengan memegang stang sepeda tersebut.


    Pada anak usia 5 tahun, ia lebih bereksplorasi dengan eksperimennya. Ia mencoba untuk menyesuaikan gambar yang ia buat dengan warna yang senada untuk gambarnya agar gambar yang ia buat dapat menghasilkan suatu karya yang indah, kreatif dan enak dipandang mata. Pada usia ini anak sudah lebih paham atas mengkreasikan sesuatu dengan idenya sendiri, menjiplak bentuk, menempel gambar dengan tepat, dan melatih gerakan tangannya.



10

    Pada anak usia 6 tahun, ia lebih ditekankan pada bermain berkelompok sebagai motivasi untuk dapat mengakrabkan diri dengan kelompok dan sosial masyarakat sekitarnya. Ia dapat memainkan permainan fisik dengan aturan yang telah ada dan memahami aturan dalam permainan baik yang sedang ia mainkan ataupun yang akan ia mainkan. Anak usia 6 tahun ini lebih kepada pengakraban dirinya dengan oranglain dan mengenal aturan-aturan baik dalam permainan itu sendiri ataupun pada kedisiplinan.

Kamis, 13 Desember 2012

Teori Tabularasa John Locke

teori pendidikan karakter menurut david elkind dan freddy sweet

Apa Pendidikan Karakter itu?

Apa Pendidikan Karakter itu?Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu jugamemiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Kofigurasi Karakter
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.